KOMISI VI BAHAS RENCANA IPO PT. GARUDA INDONESIA (PERSERO)
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) membahas terkait rencana penawaran perdana saham (Initial Public Offering/IPO) PT. Garuda Indonesia (Persero). DPR RI meminta PT. Garuda Indonesia (Persero) untuk memperbaiki kinerja sebelum melakukan IPO.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Deputi Bidang Usaha dan Logistik Kementerian BUMN Sumaryanto Widayatin dan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Selasa (30/11), di gedung DPR.
Anggota Komisi VI Sukur Nababan dari Faksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuanganmenilai dengan kondisi Garuda yang masih perlu pembenahan dari segi manajemen, keuangan, maupun kinerja, penambahan dana lewat IPO belum mendesak dilakukan.
Pemerintah harus membenahi manajemen Garuda sebelum layak IPO. "Manajemen harus dibenahi agar benar-benar layak jual. Kalau butuh dana, ya, kita bicara bersama. Kita bisa dorong agar ada penyertaan modal pemerintah untuk pembenahan manajemen. Aset yang ada dulu aja dioptimalkan," kata Syukur Nababan.
Wakil Ketua Komisi VI, Aria Bima, meminta soal penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) PT Garuda Indonesia yang akan dilakukan pada 11 Februari 2011 mendatang, harus lebih transparan, sehingga tidak memunculkan keributan pada publik seperti yang terjadi pada IPO PT Krakatau Steel (PT KS).
"Kita harus belajar dari IPO PT KS. Semuanya ribut karena masalah transparansi. Prioritaskan publik. Jangan samakan dengan swasta. Karena ini perusahaan BUMN," kata politisi dari F-PDIP itu.
Untuk itu, Aria berharap semua pihak terkait harus berhati-hati terkait IPO Garuda ini, terutama dalam hal penetapan harga. Semua hasil audit harus dikemukakan secara transparan. "Yang ribut pertama kali mengenai IPO PT KS, kan soal penetapan harga. Kita tidak ingin hal ini sampai terjadi pada IPO Garuda," katanya.
Di samping itu, sebut Aria pula, masalah mekanisme penjatahan juga perlu diperhatikan. Siapa yang mendaftar dan siapa yang mendapat saham, menurut Aria, juga akan menjadi masalah besar. "Jika saham untuk pemodal dalam negeri tidak diprioritaskan, akan menjadi masalah besar. Ini harus betul-betul diperhatikan," tambahnya.
Hal serupa juga dikemukakan Nurdin Tampubolon. Dia menilai bahwa soal alokasi saham ini menjadi perhatian dalam IPO Garuda, begitu pula masalah harga. Makanya katanya, semuanya harus terbuka pada publik. "Proses IPO akan tetap kami ikuti, agar tidak menimbulkan pertanyaan bagi publik. Jika baik, tentu kami akan memberikan dukungan. Tapi jika tidak, tentu kami akan melakukan penolakan," tegasnya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta rencana penawaran umum saham perdana alias initial public offering (IPO) PT Garuda Indonesia bisa ditunda satu atau dua tahun. Pasalnya, saat ini banyak sekali faktor yang diperkirakan akan mengganjal jalannya aksi korporasi itu.
Anggota DPR Komisi VI DPR Fraksi Hanura, Nurdin Tampubolon mengatakan, faktor pengganjal IPO Garuda itu antara lain, kinerja Garuda yang belum maksimal, isu negatif mengenai jadwal penerbangan tak lancar dan isu PT Krakatau Steel yang belum rampung.
Menurutnya, berbagai sentimen negatif itu akan membuat harga saham perdana maskapai pelat merah itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa mempengaruhi target raupan dananya.
"Harus ada penundaan sampai kita anggap mereka sudah bagus peringkat dan keuangannya. Transparansi harus dilakukan. Menurut kami dari Komisi VI kalau IPO dilaksanakan sekarang, harganya akan sangat rendah yang akan rugikan Garuda dan rakyat," katanya.
"Mungkin setahun atau dua tahun lagi baru IPO tergantung bagaimana dia meningkatkan kinerjanya. tahun depan jangan dulu. Pertimbangannya, laporan keuangan, penentuan harga, cost and benefit perusahaan harus jelas, target yang akan didapat dari ipo, akan dikemanakan uangnya," tambahnya.
Selain itu, ia menambahkan, situasi politik dalam negeri saat ini tidak memungkinkan, apalagi isu mengenai IPO KS masih belum mereda. Belum lagi Garuda baru saja terkena gangguan sistem yang menyebabkan kacaunya jadwal penerbangan dua pekan lalu. (as)/Foto:Iwan Armanias.